Sabtu, 23 Oktober 2010

Mencari Ujung Keterbatasan Rasio

       Saya ingin sedikit mengulas arah pembahasan tulisan ini, juga dari mana pemikiran ini berawal. Saat di pesantren, awalnya saya begitu menyukai disiplin ilmu tauhid atau Kalam ( teologi dialektika ), yang pada kenyataannya kurang disukai kalangan pesantren sendiri. Karena memang dari sejarahnya pernah terjadi ketegangan diantara pengkaji ilmu Kalam, yang tidak terlahir dari rahim peradaban Islam, dengan para ulama fikih dan hadits, yang lebih dikuti oleh pengkaji ilmu agama, termasuk di kalangan pesantren. Salah satu penyebabnya, Kalam sebagai ilmu yang kemunculannya dipengaruhi oleh filsafat Yunani, memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan potensi nalar atau rasio dalam mencoba memahami setiap ajaran Islam, sehingga terkadang harus menemui benturan dengan pemahamn tekstual ayat Qur'an ataupun hadits. Saat itu pemikiran saya hampir didominasi seputar permasalahan - permasalahan yang menjadi kajian ilmu kalam. Tapi seperti kebiasaan saya, saya kurang menyukai dengan segala macam bentuk pemahaman kaku, yang terlalu terikat dengan kaidah baku dalam suatu disiplin ilmu. Kaidah - kaidah itu, bagi saya, hanya berfungsi sebagai landasan berpikir, dipahami dari mana semua itu berasal, kemudian mengembangkannya sesuai maksud kaidah - kaidah tersebut dibuat. Dan pada saatnya, ketika menggabungkan atau menemukan kaidah lain, hasil dari sebuah pemahaman terhadap dalil - dalil yang ada, saya mempunyai semacam kaidah baru sebagai prinsip pemikiran saya.



        Seperti yang telah saya sebutkan, salah satu ciri ilmu kalam, adalah menjadikan rasio sebagai sentral dalam kajiannya, termasuk dalam memahami setiap ajaran dan teks agama. Meskipun Asy'ariyyah, aliran yang diikuti mayoritas masyarakat kita, dinilai lebih banyak mendahulukan pemahaman tekstual saat berbenturan dengan penalaran, tetap saja ciri khas kalam, yang rasio-sentris, tidak hilang. Sampai akhirnya saya menemukan salah satu permasalahan yang cukup menarik, yang diambil dari sebuah kisah yang jika dinilai dari aspek periwayatannya, kurang dapat dijadikan pegangan. Namun untuk sekedar pemahaman tidak menjadi masalah. Pada intinya di dalam kisah tersebut, Iblis laknatullah mempertanyakan apakah kekuasaan Allah mencakup pada hal - hal yang secara rasio adalah mustahil ( irasional ). Di situ tak ada jawaban, hanya ada cara bagaimana harus menanggapi ketika pertanyaan semacam itu dilontarkan.


        Sekarang kita coba jawab pertanyaan ini sesuai batas kemampuan akal yang kita miliki. Tapi sebelumnya, perlu saya informasikan, bahwa pendapat hampir semua ulama yang ada dari kalangan kita adalah, kekuasaan Allah hanya menyentuh pada hal - hal yang seara rasio jaiz atau mungkin. Alasannya, jika kekuasaan Allah juga berlaku pada hal irasional, maka itu berarti pada saat yang bersamaan, ada kemungkinan bahwa, 'sesuatu yang eksisitensinya tidak masuk akal, menjadi masuk akal'. Padahal kemungkinan ini sendiri menurut hukum akal, adalah mustahil, irasional. Agar lebih mudah dipahami, kita pakai sebuah contoh. Salah satu hal yang tidak masuk akal, menurut konsep ketuhanaan ajaran Islam, adalah pluraitas Tuhan. Tuhan dalam ajaran Islam, digambarkan sebagai pemilik kekuasaan absolut, tidak ada campur tangan apapun, dari siapapun, dalam segala tindakan Tuhan. Maka, jika ada tuhan lain, yang tentunya memliliki kekuasaan absolut  - sebab jika salah satunya memliki kekuasaan terbatas,  jelas itu bukan tuhan -    berarti ada kemungkinan keduanya memliki kehendak yang berbeda, misal,  satu menghendaki A bergerak, sedangkan yang satunya menghendaki A diam. Saat kehendak ini saling bertentangan, berarti terjadilah irasionalitas lain, yaitu A dalam satu waktu, bergerak sekaligus diam. Setelah memahami mengapa pluralitas Tuhan dikatakan irasional, kita kembali kepada persoalan awal kita. Seperti inilah jika kekuasaan Tuhan mencakup pada hal - hal yang irasional. Akan selalu terjadi irasioanalitas - irasionalita tak berujung. Atau jika terus memaksakan, kita tidak lagi menemukan pembagian hukum akal. Semuanya menjadi rasional, saat kekuasaan tuhan tak terbatasi dengan hukum akal.


         Namun disisi lain, Tuhan dengan kekuasaan absolutnya, apakah mungkin terbatasi dengan hukum akal yang Dia ciptakan sendiri. Atau sebelumnya kita harus bertanya, dari manakah hukum akal berasal, diciptakan atau tidak? Jika tidak, apakah saat alam semesta ini belum diciptakan, saat semuanya masih tampak mustahil, kekuasaan Tuhan sudah terbatasi dengan hukum akal, yang dengan begitu, berarti merupakan sebuah kemustahilan, ada hukum akal lain yang bisa 'Tuhan ciptakan'. Atau kemungkinan lain, sebenarnya  hukum akal merupakan konsep yang Tuhan ciptakan, yang dapat dipahami manusia menggunakan akalnya, untuk mengetahui kebesaran dan kekuasaan Penciptanya. Yang berarti, tidak mustahil, seandainya ada hukum akal lain yang bisa kita tangkap, jika saja Tuhan menghendakinya.


          Baiklah, pertanyaan tadi kita simpan, sekarang kita lanjutkan pembahasan awal. Nanti akan saya kemukakan sudut pandang lain, apakah benar, pendapat ulama Kalam mengenai kekuasaan Tuhan yang hanya terbatas pada hal yang rasional, memang pendapat yang kuat, tak terbantahkan, atau ternyata terdapat kontradiksi di dalamnya.


          Perlu saya sampaikan sebelumnya. Salah satu argumen rasional yang dikemukakan para ulama saat menghadapi teori keabadian alam menurut filsafat adalah irasionalitas tasalsul ( infinite causality ) dan daur ( infinite circular ). Dalam toeri filsafat, masa eksistensi alam semesta digambarkan seperti perputaran roda. Jika diputar kebelakang, kita akan selalu menemukan alam terus ada tanpa permulaan. Dan saat diputar kedepan, tidak ada akhir untuk eksistensi alam. Kemudian argumen yang dikemukakan ulama untuk membantah teori tersebut, ketika kita ambil sebuah masa, misal 2000 tahun, berarti kita mendapatkan titik batas antara jumlah atau kuantum masa yang terbatas dengan kuantum masa yang tak terbatas. Masa 2000 tahun jelas menurut akal sehat adalah kadar masa yang terbatas, memiliki garis awal dan akhir. Sementara masa di belakangnya bernilai tak terhingga. Ketidakmasukakalan teori ini akan terlihat saat kita mengambil jumlah masa yang lain, 2001 misalnya. Sebab, jika diurutkan, masa tak terhingga pada kondisi pertama lebih banyak, tidak sama dengan jumlah masa tak terhingga pada kondisi kedua. Atau menggunakan argumen lainnya, masa antara 2000 tahun sampai 2001 tahun kebelakang, pada saat bersamaan bisa dikatakan tak terhingga ( sesuai kondisi pertama ) sekaligus terbatas ( sesuai kondisi kedua ). Hal ini jelas merupakan hal yang irasional.


        Itulah argumen yang sering dikemukakan para ulama di dalam banyak referensi ilmu kalam. Diantaranya yang masih saya ingat betul, Tahafut al Falasifah ( al Ghazali ) dan Kubra al Yaqiniyyat ( Sa'id Romdlon al Buthi ). Namun argumen diatas bisa menjadi boomerang, jika kita mengubah argumen tersebut, dengan membalik masa yang akan kita ambil untuk menentukan titik batas masa tak terhingga dengan masa yang terbatas, bukan dengan mengambil masa di belakang, tetapi masa yang ada di depan. Dan konklusi yang dihasilkan adalah, kekekalan akhirat termasuk sesuatu yang irasional. Itu artinya, kita harus memilih salah satu dari 2 hal yang selama ini telah kita yakini sebagai kebenaran, dan membuang yang lainnya. Kekekalan akhirat atau kekuasan Allah yang hanya mencakup hal - hal yang irasional. Pilihan yang sulit memang, tapi itu harus. Ini adalah keniscayaan jika kita tetap mengikuti pendapat yang ada.


          Untuk persoalan ini, ada 2 pilihan jalan keluar. Pertama, dengan tidak mengikuti pendapat ulama Kalam dalam hal ini. Cukup kita yakini, alam ini diciptakan oleh Allah dari ketiadaan, dan suatu saat akan musnah sebelum diciptakan kembali untuk kehidupan abadi. Cukup menggunakan dalil naqli untuk mempertahankankan keyakinan kita. Solusi ini lebih aman saya rasa, tetapi tetap saja mempunyai resiko. Pilihan kedua. Tidak perlu mengikuti pendapat Agus Musthofa yang mengatakan akhirat tidak kekal, melainkan membuang pendapat ulama soal kekuasaan Allah terbatasi oleh hukum akal. Kekuasaan Allah dalam setiap tindakan-Nya adalah absolut, termasuk dalam hal - hal yang kita pahami sebagai sesuatu yang irasional. Hanya saja, kekuasaan Allah akan selalu berbanding lurus, selaras dengan kehendak-Nya. Sebab, terkadang kita sendiri kebingungan untuk menentukan apakah sesuatu termasuk hal yang rasional atau irasional. Seperti dalam hukum logika, selama kita tidak mempunyai pengetahuan dasar, yang bisa kita jadikan sebagai proposisi atau, maka tidak mungkin kita mampu mendapatkan konklusi, atau pegetahuan baru. Jadi bayangkan saja, seandainya kita tidak pernah diberikan kemampuan untuk memahami sesuatu, bahkan untuk pengetahuan apriori sekalipun, apakah kita akan mampu menentukan rasionalitas atau irasionalitas sesuatu. Maka tidak heran jika konon  - kalau tidak salah -   Aristotle pernah menyatakan, antara alam ini diciptakan dan tidak diciptakan, keduanya adalah sesuatu yang tidak masuk akal.


            Mungkin sanggahan pertama yang akan saya hadapi adalah, jika demikian, berarti mungkin bagi Allah untuk menciptakan anak bagi-Nya ( subhanallah ). Harus dibedakan, tidak mungkin dan tidak masuk akal. Memang tadi dinyatakan, kekuasaan Allah tidak terbatas, termasuk mengenai hal yang tidak masuk akal. Maka akan saya jawab, Allah mampu untuk itu. Tapi seperti juga telah saya jelaskan, kekuasaan Allah akan selalu selaras dengan kehendak-Nya. Jadi saya katakan hal itu tidak mungkin. Dasarnya Q.S al Anbiya :17 dan Q.S az Zumar :4.

لَوْ أَرَدْنَا أَن نَّتَّخِذَ لَهْواً لَّاتَّخَذْنَاهُ مِن لَّدُنَّا إِن كُنَّا فَاعِلِينَ

artinya: Sekiranya Kami hendak membuat sesuatu permainan, (isteri dan anak), tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami . Jika Kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah Kami telah melakukannya)

لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَداً لَّاصْطَفَى مِمَّا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ سُبْحَانَهُ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
 
artinya:. Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan


         Akhirnya, semoga kita dapat benar - benar menyadari keterbatasan rasio yang kita miliki. Saat kita merasa rasio kita telah menemui batasnya, kita bisa hentikan sejenak kontemplasi kita, sambil terus berdo'a dan menunggu anugerah dan izin yang Allah berikan, untuk terus mencoba memahami misteri dan ayat - ayat kekuasaannya yang tak terbatas. Dan sampai sejauh inilah, rasio yang saya miliki menuntun hingga menemukan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui. Biidznillah tentunya. Wallahu a'lam.
 

by_madAs  

0 comments:

Posting Komentar