Rabu, 08 Desember 2010

Kehangatan Secangkir Kopi

         Berawal dari ketidak sengajaan, aku mulai berkenalan dengan aroma kopi kental, sebagai pelengkap kepulan asap rokok, saat menata langkah baru, meninggalkan kehidupan seorang remaja yang telah kehilangan banyak waktu, hanya demi sebuah pencarian jati diri tak pasti. Memulai petualangan di daerah pesisir pantai utara,  ujung timur Jawa Tengah. Belajar mengenal dan masuk ke dalam kebudayaan, kebiasaan, serta kearifan lokal baru yang belum pernah kutemui sebelumnya.


          Dan salah satunya, bisa kutemui pada setiap warung kopi, dengan segala macam bentuk dan kekhasan unik, yang memberikan sensasi tersendiri tiap kali mampir untuk sekedar menikmati kopi dan tabuhan dangdut koplo yang menjadi daya tarik setiap pengunjung untuk betah berjam - jam, meski hanya duduk melamun sendirian. Memang alunan musik, kopi dan asap rokok mampu membawa pikiran kita melayang, mengikuti kemana asap itu terbang. Sedikit bisa mencairkan beban dan ketegangan syaraf - syaraf otak, membuka kembali sumbatan - sumbatan yang memenuhi kepala, menjernihkan kembali pikiran kita. Bergabung dengan sejuta wajah baru, meski tak harus kita mengenal atau memberikan sapaan hangat. Warung kopilah yang menjalin keakraban mereka meski tak saling menyapa.

            Secangkir kopi mengajarkanku apa arti kehidupan, manusia dengan segala kebejatan dan kelembutan, yang tiap saat bisa seenaknya bergantian menghias perilaku mereka. Memperlihatkan wajah kejujuran mereka saat membual. Menunjukkan senyum iblis ketika menangis. Dan membuatku begitu menikmatinya. Menikmati tiap detail keunikan mereka, sembari menanti kejutan - kejutan yang disuguhkan putaran kehidupan. Melalui lingkaran kecil cangkir kopi, luas dunia ini bisa kulihat. Bahkan untuk hal - hal yang tak pernah bisa kulihat dari mata manusia. Pekatnya warna hitam kopi mampu memberiku sebuah cahaya, yang menerangi batinku untuk bisa merasakan isi hati manusia. Aku mendengar setiap jeritan, senyum dan tawa kesombongan mereka. Aku menemukan dunia pada secngkir kopi.

             Warung kopi mengajarkanku bagaimana mengartikan manusia sebagai homo socius, yang pandai dan butuh untuk berinteraksi dengan sesamanya. Tak hanya larut dengan khayalan yang dimilikinya, enggan berbagi khayalan itu dengan saudaranya. Tak hanya duduk sendiri dan selalu mencari bangku tersembunyi. Menghindar dari mata - mata di sekeliling mereka, teralienasi. Aku belajar membagi khayalan, pikiran, bahkan kehidupan pribadiku sekalipun, kepada mereka, meski baru saja aku bertemu wajah asingnya. Hingga aku bisa menikmati arti sebuah persahabatan, keakraban dan berbagi kehidupan, setelah sekian lama aku menganggapnya sampah.
         
           Ada kerinduan yang tiap saat aku rasakan, berharap untuk kembali duduk dan menikmati suasana  hangat warung kopi. Bergabung dengan obrolan - obrolan kehidupan. Menikmati malam panjang 24 jam.

Kini setelah 20 bulan, kerinduan itu sedikit terobati. Aku menemukan kembali suasana itu disini. Di tempat istimewa, penuh keakraban. Surga bagi manusia yang masih menghargai sisi manusianya.

  

0 comments:

Posting Komentar