Kamis, 02 Desember 2010

Adilla Laa Miria

Kuterpaku, terpesona saat kau mulai hiasi tiap awal hari yang akan kujalani. Berdiri 15 menit, bersandar pada sebuah gapura, menunggu bus yang kau tunggu datang menjemputmu. Kau paksaku tuk selalu bangun pagi, meski itu kebiasaan yang tak pernah kujalani. Bahkan membuat kurela melewati malam tanpa mata terpejam. Karena kutahu, kau tak pernah biarkan indahmu kunikmati setelah jarum panjang jam dinding kamarku melewati angka enam. Kau akan hukum aku dengan penyesalan jalani hari ini tanpa bisa melihat wajahmu. Wajah yang tak pernah kulupa tapi selalu ingin kurekam tiap saat, tiap detik, atau setidaknya tiap hari.
Wajah dengan mata yang membuat sisi gelap jiwaku tertidur. Saat sinar matamu menyilaukan mata batinku. Lupa, dan tak pernah ingin tersadar, siapa kau dan aku ini siapa. Aku hanya ingin tahu, kau wanita sempurna yang telah membuatku tak lagi berharap terperangkap dalam hati wanita tanpa ikatan yang dihadiri saksi, wali dan membuat komitmen dalam kalimat ijab qabul. Sejak pertama kali kusadari hadirmu. Entah sampai kapan. Selamanya atau sampai hilang harapku. Yang kutahu sampai saat ini aku masih bertahan, terus bermimpi, meski terkadang aku semakin sering lupa, sedang bermimpikah aku atau terjaga.

Impianku tentangmu membuatku gila. Datang 2 kali tiap pekan, mengikuti pengajian abahmu hanya untuk mencoba memahami pola pikir dan cara pandang beliau. Bukan untuk mendengar penjelasan yang beliau sampaikan. Meski pada akhirnya aku benar - benar menikmati setiap kalimat, setiap permasalahan dan cara pemecahan yang beliau uraikan. Dan itu membuatku semakin terobsesi dengan mimpiku tentangmu. Aku selalu berkhayal, aku duduk berdua dengan beliau, menikmati kopi Sarang, dan seandainya diizinkan, tentu saja tak boleh ketinggalan kepulan asap yang akan mengurangi tingkat ketegangan, nervous dan sungkan saat berbicara di hadapan beliau. Menghabiskan malam dengan perbincangan segala permasalahan yang sering mengganggu pikiran kami, tentang politik, sosial budaya, pendidikan yang dikemas dengan bungkus khas Islam. Islam yang moderat, yang mampu berasimilasi dengan budaya lokal. Seperti itu juga yang bisa kutangkap sebagai prinsip beragama beliau melalui pengajian yang aku ikuti. Tak jauh berbeda dengan cara pandang yang aku miliki. Bahkan berkali - kali beliau seperti menegaskan pendapat yang sebelumnya telah kupilih.

Ada sebuah rasa berat saat aku mulai berpikir menyudahi sementara, atau untuk selamanya, petualangan yang aku jalani di sini. Pergi ke suatu tempat, dimanapun itu, asalkan aku bisa melanjutkan perjalanan yang aku kehendaki. Dan itu artinya, saat itu juga, tak bisa lagi kunikmati indahmu, mungkin untuk selamanya. Tak pernah ada lagi kesempatan, waktu yang berulang, yang bisa aku manfaatkan untuk melanjutkan mimpiku tentangmu. Namun disisi lain, logikaku berbisik, jika aku tetap di sini, itu sama saja aku membunuh mimipiku sendiri, dan mungkin selamanya aku hanya dapat bermimpi. Dan selamanya tak pernah lagi dapat kutemui pagi.

Ini adalah hari terkahir aku disini. Semalam mataku sedetikpun tak terpejam. Memikirkan apa yang bisa kujadikan alasan yang nanti kusampaikan pada mereka. Tapi yang lebih aku pikirkan, apakah dalam sedikit waktu yang tersisa ini, aku masih bisa menanti sebuah keajaiban. Aku tak akan kehilanganmu meski sebentar lagi kau akan semakin sering mendatangi mimpiku. Besok pagi mungkin adalah terakhir kalinya aku bisa menikmatimu berdiri 15 menit di depan gapura. Berharap semua bus esok hari tidak beroperasi, berharap bisa menikmati indahmu selama mungkin.

Pagi ini aku sengaja mendekat, duduk di depan toko kitab. Menunggu waktu berjalan cepat sampai pukul 06.15. Setelah itu berhenti.

by_madAs

0 comments:

Posting Komentar