Sabtu, 16 Oktober 2010

Maaf Kalau Lancang, Tapi Jujur Aku Sayang

           "Masih ingat dengan mimpi yang pernah aku ceritakan? Kini aku merasa telah menemukan titik awal untuk mulai merangkai semua impian besarku. Aku telah temukan sosok yang kuyakini sangat tepat menjadi pendamping menjalani kehidupan impianku kelak. Seorang wanita baik - baik, dari keluarga baik - baik, cantik luar dalam, pintar, cerdas, dewasa dalam berpikir dan seorang wanita penuh tanggung jawab, yang nanti akan mampu bersikap bijak membagi perannya sebagai ibu, istri dan hamba Tuhannya dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Tapi sayang kawan, dia harus ditakdirkan terlahir sebagai seorang putri Kiai".

            Baris kalimat itu mengalir lembut dari mulut sahabat terbaik 2 minggu lalu. Di awal terdengar celoteh penuh harapan akan hadirnya sebuah kebahagiaan, namun begitu kata 'tapi' dilafalkan, semua itu hilang.
                                                         
 *****


            Menurut aturan sintaksis, kaidah ketatabahasaan, 'TAPI' ( dengan bentuk baku TETAPI ) merupakan sebuah kata penghubung ( intra kalimat ) dengan fungsi khusus memberi makna perlawanan. Masuk pada bentuk kalimat majemuk setara, yang tersusun dari beberapa klausa yang berkedudukan sama/sederajat ( koordinatif ). Digunakan untuk membatalkan pengertian umum yang diperoleh dari klausa sebelumnya, dengan meletakkan klausa lain setelahnya. Dengan demikian adalah kelaziman jika antara kedua klausa yang terpisah oleh kata 'tapi' berbeda nilai, cenderung bertentangan. Berarti contoh kalimat "Seseorang malas tetapi pintar" dinilai sudah tepat. Sedangkan kalimat "Seseorang malas tetapi bodoh" dirasa kurang tepat. Pada contoh kedua ini intra kalimat yang digunakan seharusnya berupa 'dan', 'juga', atau yang lainnya sesuai fungsi dan konteks kalimat yang ada. Dengan memperhatikan pernyataan sahabat saya, dengan fokus bagian kalimat yang memuat deskripsi wanita yang ingin ia ceritakan, kriteria - kriteria yang tersebut sebelum 'tapi' sangat jelas menunjukkan intens bahwa wanita tersebut adalah wanita yang baik, gambaran sosok ideal untuk dijadikan sebagai istri. Ringkasnya secara umum kriteria - kriteria tersebut adalah ilai - nilai positif bagi seorang wanita. Demikian juga  - seharusnya -  dengan kriteria yang terletak setelah 'tapi'. Kenyataan bahwa wanita itu seorang putri Kiai tentu bukanlah sebuah cacat, aib atau nilai negatif yang menurunkan derajat seorang wanita. Bahkan hal tersebut merupakan nilai tambah yang dimiliki sedikit wanita. Lebih dari itu, sebelumnya juga telah diutarakan 'dari keluarga baik - baik', yang jika dikaitkan bermakna lebih umum. Karena 'seorang putri Kiai' sudah pasti 'dari keluarga baik - baik'. Sementara 'dari keluarga baik - baik' belum tentu 'seorang putri Kiai'. Dengan begitu, ketika melihat fungsi 'tapi' yang memberi arti perlawanan/pertentangan, kemudian dipergunakan untuk menghubungkan beberapa klausa yang selaras, bernilai sama atau bahkan 2 klausa yang bermakna umum khusus, maka pemilihan kata 'tapi' dinilai tidak tepat.

         Setelah hanya berkonsentrasi pada teks lahir, sekarang kita akan coba melihatnya lebih dalam dengan memperhatikan juga motif dan intens yang melatarbelakanginya. Untuk hal ini, ada sumbangan masukan dari seorang kawan, saat saya mintai pendapat mengenai persoalan ini. Dia jawab, pernyataan di atas bisa tepat, bisa juga tidak tepat. Maksudnya, tepat jika diucapkan kita - kita, 'manusia biasa', namun tidak tepat jika yang mengucapkan seorang putra Kiai ( juga ). Dengan alasan pernyataan tadi mengisyaratkan sebuah harapan akan sosok calon istri ideal, namun harapan tersebut hancur oleh ketidaksederajatan antara dia sebagai orang biasa dengan wanita tersebut dengan status 'keputri Kiaiannya'. Sementara ketidaksedarajatan ini tidak lagi ditemukan bagi seorang putra Kiai. Bagi mereka 'keputri Kiaian' seorang wanita bukanlah halangan yang bisa menutup rapat harapan mereka untuk menjadikan sang putri Kiai sebagai istri impiannya. Bahkan boleh dikatakan faktor 'keputri Kiaian' inilah yang memperbesar harapan mereka, sebab dengan latar belakang keluarga sama  - biasanya -  akan lebih mudah untuk menentukan arah sebuah rumah tangga serta memiliki potensi lebih besar bagi masing - masing keluarga untuk saling menerima. Maka dengan pertimbangan ini, pernyataan seperti di atas kurang tepat jika diucapkan oleh mereka, putra - putra Kiai.

*****

          Baiklah kita sudahi pembahasan mengenai tepat atau tidaknya pemakaian 'tapi' pada susunan kalimat di atas. Lagipula kitapun bisa mafhum motif dan maksud pernyataan sahabat saya.

          Pada dasarnya, pokok permasalahan yang kita hadapi kali ini adalah ketidaksederajatan atau perbedaan kelas sosial yang ada dalam masyarakat, lebih khusus, kaitannya dengan sebuah pernikahan. Pada kenyataannya, manusia dalam tatanan kehidupan sosial memang tidak pernah terlepas dari segala macam bentuk pengkelasan ( stratifikasi ) status sosial, sesuai tingkatan/kedudukan mereka dalam struktur masyarakat. Sebab di dunia manapun, masyarakat selalu terbentuk dari banyak individu, dan tentunya dengan perbedaan ( kelebihan dan kekurangan ) masing - masing, baik dalam aspek tingkat pendidikan, ekonomi, moral, relijiusitas maupun yang lainnya. Secara umum nantinya perbedaan - perbedaan inilah yang akan menentukan kedudukan mereka pada struktur masyarakat. Maka sebenarnya pengkelasan status sosial semacam ini bukanlah bentuk akal - akalan golongan masyarakat kelas atas, yang kemudian harus dituduh sebagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi sekelompok masyarakat. Di samping itu, seperti telah dijelaskan, stratifikasi sosial ini hanyalah sebuah kelaziman dari keberagaman yang melekat pada masing - masing anggota masyarakat. Hanya saja, dibutuhkan sikap bijak dalam menilai dan menempatkan hal ini. Artinya kapan perbedaan ini 'harus' diperhitungkan, kapan 'perlu' diperhitungkan dan juga kapan 'harus dibuang'.

          Selanjutnya dalam sebuah pernikahan, perbedaan strata sosial inipun akan selalu menjadi satu hal yang tidak mungkin untuk diabaikan., demi kemaslahatan masing - masing pihak. Alasannya pernikahan sendiri merupakan salah satu hasil dari hubungan manusia dalam hidup bermasyarakat, juga merupakan titik awal untuk membangun keluarga baru, yang nantinya akan masuk menjadi anggota baru masyarakat. Normalnya setiap manusia akan menginginkan hubungan ini terjalin dengan keluarga yang berkedudukan tinggi atau setidaknya tidak dipandang rendah oleh masyarakat. Meskipun mengenai aspek apa saja yang ditentukan dan diprioritaskan akan berbeda antara satu masyarakat dengan yang lain.Jadi dalam sebuah pernikahan, faktor keluarga memang sesuatu yang mutlak harus dipertimbangkan. Sebab bagaimanapun juga pernikahan bukanlah sekedar ikatan dua anak manusia, tetapi lebih dari itu juga untuk menyatukan dua keluarga besar mereka. Dengan begitu kesenjangan/ketimpangan strata sosial sebisa mungkin mesti dihindari, agar nantinya sebuah pernikahan benar - benar mampu menyatukan dua keluarga, bukan sebaliknya. Salah satunya dengan cara sedari awal menghindari potensi terjadinya benturan - benturan dalam cara pandang dan berpikir berkenaan dengan arah sebuah keluarga, yang diakibatkan kesenjangan kelas sosial. Dan seandainya harus terjadi, setidaknya masih dalam batas kewajaran serta bisa ditoleransi.

        Ada tambahan yang perlu disampaikan pada poin persoalan ini. Pada dasarnya faktor tidak adanya kesenjangan strata sosial bukanlah syarat mutlak untuk terbinanya keutuhan hubungan baik antara masing - masing keluarga. Maksudnya, selama kedua belah pihak mampu membawa diri, masuk ke dalam pola pikir kehidupan keluarga baru mereka, rasanya mereka akan dengan mudah saling menerima dan menghargai perbedaan - perbedaan yang ada. Lagipula hak menentukan arah sebuah rumah tangga mutlak dimiliki suami dengan mempertimbangkan masukan dari istri dan anak - anak. Baru nantinya pada saat memasuki urusan 'luar negeri' atau pada konteks kehidupan sosial, yang pertama kali dipertimbangkan adalah masukan dari pihak keluarga lainmya.

      Terakhir, pada pernikahan  - sebagai langkah besar bagi kehidupan manusia di masa mendatang -  memang banyak hal yang harus dipertimbangkan dengan matang, demi meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak. Mulai dari hal yang sangat penting, cukup penting sampai hal - hal yang mungkin dirasa kurang penting. Dengan demikian dibutuhkan sikap bijak dan tepat dalam memposisikan hal - hal tersebut sesuai skala prioritasnya. Jangan sampai dikarenakan terlalu mementingkan hal - hal kecil, kita malah melupakan hal penting yang akan berperan besar untuk kebaikan kita di masa mendatang.

*****


       Mungkin keputusan sikap sahabat saya untuk memilih mundur termasuk bentuk sikap mawas diri, merasa tidak pantas menjadi menantu seorang Kiai. Merasa kurang etis, atau bahkan takut dianggap merendahkan martabat beliau. Namun pertanyaannya, apakah pada realitanya semua ini memang begitu adanya ataukah hanya sebatas asumsi yang berkembang di masyarakat, disebabkan kesalahpahaman dalam menilai persoalan ini. Karena sepertinya kurang masuk akal jika pengajuan lamaran sesorang dari keluarga biasa - biasa, kita simpulkan sebagai penghinaan atau merendahkan martabat dan kedudukan seorang Kiai. Terlampau jauh dan terkesan dibuat - buat! Untuk etis tidaknya, tentu harus kita lihat seperti apa jalan yang diambil. Selama masih menjaga nilai - nilai moral dan sesuai arahan syariat, sulit rasanya untuk mempersalahkan tindakan ini, hanya berdasar atas pandangan umum yang mengartikannya sebagai sesuatu yang tabu atau ketidaksopanan tanpa ada landasan yang kuat. Mawas diri memang termasuk sikap terpuji, asalkan diletakkan pada tempat yang semestinya. Dan selayaknya dalam persoalan ini mawas diri akan lebih tepat jika dicerminkan sebagai sikap legowo kita terhadap apapun keputusan yang akan diterima nanti. Bukan dengan merasa rendah diri, mengurungkan niat kita berusaha mendapatkan pendamping hidup yang terbaik untuk kebaikan masa depan. Dengan alasan, nilai moralitas dan relijiusitas seorang wanita harus tetap menjadi dasar pertimbangan pertama. Jangan sampai kita harus terpaksa memilih wanita yang kurang baik dipandang dari kacamata agama dan etika, hanya gara - gara terlalu berlebihan mementingkan hal yang skala prioritasnya nomor sekian. Kalau memang masih merasa kurang pantas, kenapa tidak kita serahkan saja penilaian kepantasan kita kepada yang berhak menilai. Disertai usaha merapatkan jarak perbedaan yang masih ada antara kita dengan mereka. Supaya harapan dan niat baik kita bukan hanya sekedar mimpi dan khayalan kosong. Akhirnya, melalui tilisan ini, pesan yang ingin saya sampaikan untuk sahabat saya, juga  untuk orang - orang yang mengalami kondisi yang sama. Sebagai sahabat, hanya bisa kukatakan : " Selamat berjuang kawan !'.

by_madAs

* Terinspirasi dari sebuah pengalaman nyata

0 comments:

Posting Komentar